Be yourself, jadilah diri sendiri. Slogan itu demikian terkenal di telinga kita, dan demikian banyak pihak yang menggunakannya untuk berbagai kepentingan mereka masing-masing. Slogan ini bisa positif, bisa pula negatif, tergantung konteks pemakaiannya. Pada konteks yang positif, misalnya pada contoh situasi seperti ini : Di sebuah lingkungan, mayoritas masyarakat adalah pemabok, penjudi, penipu, pencopet, pelacur, perampok, dan berbagai pelaku keburukan lainnya.
Ketika ada seorang warga yang tidak mau terlibat dalam berbagai tindak keburukan mayoritas masyarakat, karena ingin menjaga kebaikan diri dan keluarga, maka sloban tersebut sangat tepat bagi dirinya. Jadilah dirimu sendiri, jangan ikut keburukan orang lain yang ada di sekitarmu. Nah, ini adalah contoh be yourself yang positif dan tepat penggunaannya. Orang yang tidak mau terlibat dalam keburukan dan kejahatan, maka ini adalah sikap hidup positif yang harus dipertahankan. Menjadi diri sendiri yang baik, yang tidak terlibat dalam keburukan dan kejahatan lingkungan.
Sedangkan dalam pengertian yang negatif, misalnya dalam contoh seperti ini: Dalam sebuah lingkungan yang religius, hampir seluruh masyarakat terdiri dari orang-orang yang rajin melaksanakan ibadah, shalat berjamaah ke masjid, mengikuti berbagai kegiatan keagamaan, jujur, bisa dipercaya, saling menolong, dan seterusnya. Ketika ada seorang warga yang tidak mau shalat, tidak mau ke masjid, tidak mau ibadah, tidak mau berbuat baik, dan berbagai kegiatan positif lainnya, maka slogan be yourself menjadi negatif.
Jadilah dirimu sendiri yang tidak mau berbuat baik, tidak mau ibadah, tidak mau jujur, tidak mau mengikuti kegiatan keagamaan, dan seterusnya, tentu ini makna yang negatif dan salah.
Tidak Bisa Menjadi Diri Sendiri
Setelah seseorang menikah, sesungguhnya ia sudah tidak bisa sepenuhnya menjadi dirinya sendiri, karena ada pasangan yang harus diperhatikan. Seorang lelaki sebelum menikah bebas melakukan apapun yang dikehendaki, apalagi ketika tinggal di rumah kos atau kontrakan. Mau pulang jam berapa, mau makan dimana, mau mandi atau tidak, mau gosok gigi atau tidak, semua terserah dirinya. Ketika sudah menikah, maka ia tidak bisa lagi mempertahankan kebiasaan-kebiasaan semasa lajang, karena sudah ada istri yang harus ia perhatikan dan ia libatkan dalam kehidupan.
Ketika sudah menikah, seorang lelaki harus mematut diri di hadapan istri. Jika tidak mandi, maka akan mengganggu kenyamanan istri dalam berinteraksi dengannya yang tanpa jarak. Jika tidak mau gosok gigi, tentu akan membuat istri tidak nyaman dalam melayani dirinya. Inilah contoh situasi, bahwa seseorang sudah tidak bisa menjadi dirinya sendiri secara penuh ketika sudah memiliki pasangan. Seorang suami tidak boleh lagi pulang semau sendiri, karena ada istri dan anak-anak yang memiliki hak atas dirinya. Semua aktivitas dirinya harus disesuaikan dengan pemenuhan hak-hak istri serta anak-anak.
Demikian pula seorang perempuan sebelum menikah, ia memiliki kebebasan untuk melakukan berbagai macam aktivitas yang dikehendakinya, apalagi ketika semasa kuliah ia tinggal di rumah kos atau kontrakan. Pulang kuliah, mampir perpustakaan, kemudian lanjut ke gelanggang mahasiswa, mampir lagi ke supermarket, kemudian makan di restoran, dan setelah malam baru pulang ke rumah kos. Ia bebas menentukan sendiri, akan tidur jam berapa dan aka bangun jam berapa. Ia bebas menentukan menu makanan apa yang akan dimasak setiap harinya.
Setelah menikah, ia tidak bisa lagi menjadi dirinya sendiri secara penuh. Ada suami yang harus diperhatikan dan dilayani. Untuk bepergian, ia harus mengkonfirmasi kepada suami. Untuk pulang ke rumah, ia tidak bisa lagi semaunya sendiri. Jika selama masih lajang dan masih kuliah ia bebas pergi dan pulang semau sendiri, ketika sudah menikah ia tidak lagi memiliki ruang kebebasan tersebut, karena ada suami dan anak yang memiliki hak atasnya. Untuk berpenampilan, berpakaian, berkegiatan, semua perlu dikonfirmasikan dengan kewajiban untuk menlayani suami dan mengurus anak-anak.
Menjadi Seseorang yang Diharapkan Pasangan
Setelah menikah, semestinya kita menjadi pribadi yang diharapkan pasangan. Seorang lelaki ketika sudah menikah hendaknya menjadi suami seperti harapan istri. Seorang perempuan ketika sudah menikah hendaknya menjadi istri seperti harapan suami. Tidak bisa seseorang ‘ngotot’ menjadi dirinya sendiri, tidak mau berubah menyesuaikan diri dengan harapan pasangan. Karena suami istri adalah pasangan yang saling berpengaruh satu dengan yang lainnya, saling terhubung satu dengan yang lainnya sepanjang waktu. Mereka bukan lagi pribadi merdeka yang boleh melakukan segala sesuatu sesuai keinginan pribadinya saja.
Seorang istri yang memiliki selera warna serta corak pakaian tersendiri yang dimiliki sejak masih muda atau bahkan sejak masih kecil, harus mau menerima perubahan selera setelah menikah, karena ada suami yang berhak atas dirinya. Kadang suami melihat ada pakaian perempuan yang menurutnya sangat menarik, ia membayangkan istrinya akan sangat cantik jika mengenakan pakaian tersebut. Maka ia membeli pakaian tersebut agar dikenakan sang istri. Ia rela mengeluarkan uang lebih besar dari biasanya demi melihat istrinya cantik ketika mengenakan pakaian tersebut.
Sesampai di rumah, ia berikan hadiah pakaian tersebut kepada sang istri. Betapa kecewa sang suami atas respon spontan sang istri.
“Huh, model pakaian kayak begini ini enggak banget deh bagi aku. Ini bukan selera aku. Walaupun harganya mahal, tapi ini selera kampungan”, ungkap sang istri.
“Aku akan tampak jelek kalau memakai ini. Jadi ini aku simpan saja ya, sebagai kenang-kenangan darimu”, tambah sang istri.
Mengapa ia tidak mau menundukkan selera dirinya demi menyenangkan suami? Hendaknya sang istri mengenakan pakaian tersebut demi menghormati suami, dan demi menyenangkan perasaan suami. Walaupun ia memang tidak menyukainya, namun sang suami menyukai. Walaupun itu bukan selera dirinya, namun itu selera sang suami. Maka hendaknya sang istri tetap mengenakan pakaian tersebut pada momen tertentu yang dikehendaki suami. Ia mengenakan pakaian itu saat bersama suami. Dengan demikian suami merasa bangga dan senang hadiahnya benar-benar dipakai oleh sang istri.
Tentu saja sang istri masih memiliki banyak kesempatan untuk mengenakan pakaian yang benar-benar seleranya. Saat dimana ia merasa menjadi dirinya sendiri, mengenakan pakaian yang sesuai dengan keinginannya. Sangat banyak kegiatan dan momentum yang ia bisa mengenakan pakaian sesuai pilihannya. Namun ada momentum yang khusus ia gunakan untuk benar-benar memanjakan suami sesuai selera suami. Inilah cara kompromi ketika pakaian yang dibelikan suami tidak sesuai dengan selera istri. Berikan komentar positif disertai ucapan terimakasih.
“Alhamdulillah, terimakasih Abang sudah membelikan aku pakaian yang sangat bagus. Besok kalau Abang punya uang lagi, aku dibelikan baju yang seperti foto ini yang Bang”, ujar istri sambil menunjukkan sebuah foto baju yang diinginkannya.
Demikian pula ketika suami mendapatkan hadiah dari sang istri berupa kemeja atau kaus. Walaupun secara warna, model dan coraknya tidak sesuai dengan selera pakaian suami, namun jangan ditolak dan jangan dikomentari secara negatif. Terimalah dengan penuh kebanggaan karena sang istri telah memberikan perhatian spesial bagi dirinya. Kenakan pada momen yang dikehendaki istri demi menyenangkan sang istri. Kendati bukan selera anda, namun itu selera istri. Hendaknya anda menjadi seseoang seperti yang diharapkan istri.
“Terimakasih Dek, engkau baik sekali. Aku akan mengenakan kemeja ini nanti ya”, begitu sebaiknya suami menerima hadiah dari sang istri.
Hendaknya suami dan istri saling berusaha untuk menjadi seseorang seperti yang diharapkan pasangan. Tidak bisa lagi untuk sepenuhnya menjadi diri sendiri, karena setelah menikah suami dan istri harus berusaha menyesuaikan dengan harapan pasangan. Demikian pula dalam hal selera kuliner, selera tontonan, selera olah raga, selera lagu dan lain sebagainya, tidak harus menjadi sama antara suami dan istri. Namun hendaknya suami istri berusaha untuk saling mendekat kepada selera pasangan. Bisa menikmati selera pasangannya, bisa menyesuaikan dengan selera pasangan, walau tidak berarti mematikan selera diri sendiri.
Selera pribadi, keinginan pribadi, tentu saja tetap ada. Namun tidak bisa memaksakan diri untuk memenuhi selera pribadi dan keinginan pribadi tersebut, ketika ternyata hal itu membuat tidak nyaman bagi pasangan. Inilah makna pernikahan dan berumah tangga. Suami dan istri perlahan meninggalkan hal-hal yang bercorak pribadi, dengan menyesuaikan harapan serta keinginan pasangan. Masing-masing tidak bisa lagi bersikukuh dengan keinginan dan selera pribadi, karena harus mentolerir pasangan. Harus memperhatikan kenyamanan pasangan. Harus menjaga perasaan pasangan.
Setelah menikah, benar-benar anda tidak bisa lagi menjadi diri anda sendiri secara sepenuhnya. Anda harus menenggang perasaan pasangan anda. Semua demi kebahagiaan, keharmonisan dan keutuhan keluarga.
Oleh : Cahyadi Takariawan
Penulis Buku Serial "Wonderful Family"; Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Konselor di "Rumah Keluarga Indonesia" (RKI
0 Response to "Setelah Menikah, Anda Tidak Bisa Lagi Menjadi Diri Sendiri"
Post a Comment