Sejarah seharusnya bisa bersikap jujur mengabarkan segala sesuatu yang terjadi. Bukan mengabarkan apa yang diinginkan oleh penguasa atau kaum yang memiliki kekuatan untuk diketahui dunia luas. Hitam katakan hitam dan putih katakan putih. Kejujuran inilah yang amat langka, tidak saja dalam penulisan sejarah negeri kita tercinta Indonesia, namun juga dalam penulisan sejarah dunia. Sebab itu di kalangan akademisi muncul berbagai macam sindiran terhadap sejarah itu sendiri. Ada yang menyebutkan jika Alexander Agung merebut ribuan kapal musuh maka itu disebut pahlawan, namun jika seorang nelayan merebut satu perahu kecil maka dunia pun mengutukinya sebagai perompak. Jika ini dibawa ke dalam tataran nasional, maka siapa sesungguhnya Gajah Mada? Apakah dia seorang pahlawan yang “mempersatukan” Nusantara di bawah hegemoni Majapahit, walau dengan peperangan yang memakan banyak korban, ataukah dia seorang imperialis yang memaksa daerah-daerah di luar Majapahit untuk mau tunduk dan taat kepada pihaknya, hatta dengan jalan kekerasan dan peperangan?
Kebenaran adalah kebenaran, walau pahit rasanya. Namun banyak penguasa di
berbagai negeri, termasuk penguasa Indonesia, menganggap jika kebenaran hanyalah
sesuatu yang tidak berbenturan dengan kepentingan dan kedudukan istimewa mereka.
Para penguasa seperti ini sering bersikap seperti yang dikatakan penyair Candide, “Cela
est bien dit, mais il faut cultiver notre jardin”. Itu memang benar, tetapi kita harus merawat
kebun kita sendiri. Atau dalam bahasa Jawa, “Ngono yo ngono, ning yo ojo Ngono…”
Sebab itulah, sejarawan Inggris Thomas Carlyle (4 Desember 1795 – 5 Februari
1881) dengan satir dalam bukunya berjudul “On Heroes and Hero-Worship” mengatakan,
“The History of the world is but the biography or great men.” Sejarah dunia itu hanyalah
biografi penguasa.
Carlyle pula yang walau dia seorang Kristen taat, mencela stigma Barat terhadap
Muhammad SAW dan meminta Barat agar obyektif melihat sosok kepahlawanan manusia
besar ini. Dalam buku yang sama dia menulis, “Anggapan kita (Barat) yang lazim tentang
Muhammad adalah bahwa ia seorang penipu, penjelmaan kepalsuan, bahwa agamanya
penuh kebodohan … Tuduhan-tuduhan bohong yang ditimpakan kepada orang ini
sesungguhnya hanya mencemarkan diri kita sendiri (Dunia Barat). …..Amboi, mengapa
Anda keberatan, jika kaum Muslimin menyebutnya sebagai Nabi? Dia tegap berdiri
disana berhadapan muka dengan mereka (kaum Muslimin Arab), terang-terangan dan
tidak diselubungi apapun. Mereka itu melihat bagaimana ia menambal jubahnya,
memperbaiki sepatunya, berperang, memberikan petunjuk, memerintah kepada mereka.
Mereka tentu tahu kualitas laki-laki macam apa dia. Saya katakan, orang besar ini selalu
seperti halilintar dari langit. Manusia lainnya menanti dia sebagai bahan bakar kemudian
mereka pun akan menyala-nyala . Kita (Dunia Barat) harus meninggalkan tuduhan
bahwa dia penipu.”
Namun memang pada kenyataanya, moralitas sejak zaman para nabi, memiliki dua
aspek yang berbeda. Di satu pihak, ia sejak dulu merupakan suatu lembaga sosial yang
analog dengan hukum. Di lain pihak, ia sejak dulu merupakan urusan hati nurani individu.
Dalam aspeknya yang pertama, ia merupakan bagian dari aparat kekuasaan. Sedang
aspeknya yang kedua, ia sering revolusioner.
Sekarang, coba kita tengok museum-museum kita, kita buka lembaran-lembaran
buku-buku teks sekolah anak-anak kita, adakah sejarah negeri ini telah bertindak adil
dalam menceritakan umat Islam dalam perjalanan panjang Nusantara hingga ia bernama
Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Era reformasi memang memang masih muda. Namun ia selalu pikun, selalu lupa,
untuk meluruskan dan memberi cahaya pada sejarah umat Islam Indonesia. Entah,
pikun atau lupa ini disengaja atau tidak. Yang jelas, menjadi tanggungjawab kita semualah
agar anak cucu kita bisa berpikir merdeka, kritis, dan bangga dengan sejarah nenek
moyangnya, sejarah para ulama, sejarah para mujahidin pendiri negeri besar ini. Namun
jika upaya ini tidak juga mendapatkan dukungan, maka Eramuslim Digest akan tetap
meniti jalan ini sendirian.
Mungkin tulisan Soe Hok Gie dalam catatan hariannya bisa kita renungkan bersama:
“Don’t think you can frighten me by telling me that I am alone. God is alone …the loneliness of God
is his strength!” Jangan kira engkau bisa menakuti saya dengan mengatakan bahwa saya
sendirian. Tuhan sendirian … dan kesendirian Tuhan adalah kekuatannya! Wallahu’alam
bishawab .(rz)
Sumber : Era Muslim Diggest edisi 09
Tunggu tulisan tulisan selanjutnya tentang sejarah Islam Indonesia ya..
0 Response to "SEJARAH KITA: THE X-FILES"
Post a Comment