10 Indikasi "Gagal"
Meraih Keutamaan Ramadhan
ILustrasi : 10 Indikasi gagal meraih keutamaan Ramadhan. (Foto : salamphatokan.blogspot,com)
Berapa
banyak orang yang berpuasa namun ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya
kecuali lapar dan dahaga…”(HR. Bukhari dan Muslim). Hadits Rasulullah tersebut
harusnya dapat membangkitkan kewaspadaan kita untuk menjauhi dan tidak
terjerumus di dalamnya. Apalah arti berpuasa bila hanya meninggalkan kering
pada kerongkongan dan lapar di dalam perut ?
Berikut
ini adalah uraian yang patut direnungkan agar kita tidak termasuk orang-orang
yang disinggung dalam hadits Rasulullah tersebut. Kegagalan yang dimaksud
tentuk bukan sebuah klaim yang pasti. Itu memang hak Allah swt semata. Tapi setidaknya,
kita perlu behitung dan memiliki neraca agar segenap amal ibadah kita di bulan
Ramadhan ini benar-benar berbobot, hingga kita bisa lulus dari madrasah
Ramadhan menjadi pribadi yang lebih
berkualitas. Amiin.
Ilustrasi : Warming up. (Foto : Clipground.com)
Pertama, ketika
kurang optimal melakukan “warming up”
dengan memperbanyak ibadah sunnah di bulan Sya’ban. Ibarat sebuah
mesin, memperbanyak ibadah sunnah di
bulan Sya’ban berfungsi pemanasan bagi rohani dan fisik untuk memasuki bulan
Ramadhan. Berpuasa sunnah, memperbanyak ibadah shalat, tilawatul Qur’an sebelum
Ramadhan, akan menjadikan suasana hati dan tubuh kondusif untuk pelaksanaan
ibadah di bulan puasa. Dengan begitu, puasa, ibadah malam, memperbanyak membaca
al-Qur’an, berdzikir, taqarrub kepada
Allah, menjadi lebih lancar.
Mungkin
itulah hikmahnya kenapa Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Aisyah, disebutkan,
paling banyak melakukan puasa di bulan Sya’ban. Bahkan sejak bulan Rajab, dua
bulan menjelang Ramadhan, beliau sudah mengajarkan do’a kepada para sahabatnya,
“Allahumma barik lan fi Rajab wa Sya’ban, wa ballighna Ramadhan.” Ya Allah
berkahilah kami dalam bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah usia kami pada
bulan Ramadhan. Rasulullah dan para sahabat ingin mengkondisikan jiwa dan fisik
mereka untuk siap menerima kehadiran tamu agung bulan Ramadhan.
Ilustrasi : Membaca Al-Qur'an. (Foto : Kabarmakah.com)
Kedua, ketika
target pembacaan al-Quran yang dirancang, minimal satu kali khatam, tidak
terpenuhi selama bulan Ramadhan. Di bulan ini, pembacaan al-Qu’an
merupakanbentuk ibadah tersendiri yang sangat dianjurkan. Pada bulan inilah
Allah SWT menurunkan wahyunya dari Lauhul Mahfudz ke langit dunia. Peristiwa ini
disebut malam Lailatul Qadar. Pada bulan ini pula, Jibril AS biasa
mengulang-ulang bacaan al-Qur’an kepada Rasulullah SAW.
Orang
yang berpuasa di bulan ini, sangat dianjurkan memiliki wirid al-Qur’an yang
lebih baik dari bulan-bulan selainnya. Kenapa harus minimal mengkhatamkan satu
kali sepanjang bulan ini? Karena memang itulah target pembacaan al-Qur’an yang
di ajarakan oleh Rasulullah SAW. Ketikan Abdullah bin Umar bertanya kepadanya, “Berapa
lam sebaiknya orang mengkhatamkan al-Qur’an” Rasul menjawab “Satu kali dalam
satu bulan.” Abdullah bin Umar mengatakan, “aku mampu lebih untuk lebih dari
satu kali khatam dalam satu bulan.” Rasul berkata lagi, “kalau begitu, bacalah
dalam satu pecan.” Tapi Abdullah bin Umar masih mengatakan bahwa dirinya masih
mampu membaca seluruh al-Qur’an lebih cepat dari satu pekan. Kemudian Rasul
mengatakan “Kalau begitu, bacalah dalam tiga hari.”
Ilustrasi : Ber-gosip. (Foto :renosimanto.wordpress.com)
Ketiga, ketika
berpuasa tidak menghalangi seseorang dari penyimpangan mulut seperti
membicarakan keburukan orang, mengeluarkan kata-kata kasar, mrbuka rahasia,
mengadu domba, berdusta dan sebagainya. Seperti yang sudah banyak diketahui,
hakikat puasa tidak terletak pada menahan makanan dan minuman masuk ke dalam
kerongkongan. Tapi puasa juga mengajak pelakunya untuk bisa menahan diri dari
berbagai penyimpangan, salah satunya yang dilakukan oleh mulut. Rasulullah SAW
menyatakan bahwa dusta akan menjadikan puasa sia-sia. (HR. Bukhari)
Mulut
merupakan salah satu bagian tubuh yang paling sukar untuk dikendalikan namun
nilainya sangat mahal. Rasulullah berpesan, adakalanya kalimat buruk yang
ringan diucapkan oleh seseorang, tapi karena Allah ridak ridha dengan kalimat
itu, maka orang tersebut tercampak ke dalam neraka. Sebaliknya, adakalanya kalimat
baik yang ringan di ucapkan oleh seseorang, tapi karena Allah ridha dengan
kalimat itu orang tersebut dimaksukkan ke dalam surge. (GR. Ahmad)
Ilustasri : tutup pandangan. (Foto : twitter.com)
Keempat. ketika
puasa tak bisa menjadikan pelakunya berupaya memelihara mata dari melihat yang
haram. Mata adalah penerima informasi yang paling efektif yang bisa memberi
rekaman dalam otak dan jiwa manusia. Memori informasi yang tertangkap oleh
mata, lebih sulit terhapus ketimbang informasi yang diperoleh dari indera yang
lainnya. Karenanya, memelihara mata
menjadi sanagt penting untuk membersihkan jiwa dan fikiran dari berbagai kotoran. Salah mengarahkan
pandangan, bila terus berulang akan
menumbuhkan suasana kusam dan tidak nyaman dalam jiwa dan fikiran. Ini sebabnya
mengapa Islam mewasiatkan sikap hati-hati menggunakan nikmat mata.
Puasa
yang tak menambah pelakunya memelihara mata dari yang haram, menjadikan puasa
itu nyaris tak memiliki pengaruh apapun
dalam perbaikan diri. Karenanya, boleh jadi puasanya secara hukam sah, tapi
substansi puasa itu tak akan tercapai.
Ilustrasi : beribadah (Foto : gambarlucujawa.com)
Kelima. ketika
malam-malam Ramadhan menjadi tak ada bedanya dengan malam-malam selain
Ramadhan. Salah satu ciri khas bulan Ramadhan adalah, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk
menghidupkan malam dengan shalat dan do’a-do’a tertentu. Ibadah shalat malam di
bulan Ramadhan yang biasa disebut shalat
Tarawih, merupakan amal ibadah khusus di bulan ini. Tanpa menghidupkan malam
dengan ibadah tarawih, tentu seseorang akan kehilangan momentum berharga. Selain
itu, di dalam shalat ini pula Rasulullah mengajarkan do’a-do’a khusus yang
insya Allah akan di ijabah oleh Allah swt. Di antara do’a yang perlu
diperbanyak dalam shalat tarawih adalah, “Allahumma
inni as aluka ridhaka wal jannah wa na’udzu bika min sakhotika wan naar”. Ya Allah, aku memohon keridhaan-Mu dan surga-Mu.
Dan aku memohon perlindugan dari kemarahan-Mu dan dari neraka-Mu…”
Para
sahabat dahulu, berlomba-lomba untuk bisa melakukan shalat tarawih di belakang Rasulullah.
Umar bin Khattab bahkan berijtihad untuk melakukan shalat tarawih berjamaah
dengan 20 raka’at, sehingga kaum muslim termotivasi menghidupkan malam
Ramadhan.
Ilustrasi : Nafsu makan (Foto : kebunraya.com)
Keenam, jika
saat berbuka menjadi saat melahap semua keinginan nafsun yang tertahan sejak
pagi hingga petang. Menjadikan saat berbuka sebagai kesempatan “balas dendam”
dari upaya menahan lapar dan haus selama siang hari. Bila ini terjadi, berarti
nilai pendidikan puasa akan hilang.
Puasa,
pada hakikatnya, adalah pendidikan bagi jiwa (tarbiyatun nafs) untuk mampu
mengendalikan diri dan menahan hawa nafsu. “Puasa itu adalah perisai,” sabda Rasulullah
seperti diriwayatkan Imam Bukhari. Hanya dalam puasalah, seseorang dilarang
melakukan perbuatan yang sebenarnya halal dilakukan. Hasil pendidikan itu, akan
tercermin dalam pribadi orang yang lebih bisa bersabar, menahan diri, tawakkal,
pasrah, tidak emosional, tenang dalam menghadapi berbagai persoalan.
Puasa
menjadi kecil tak bernilai dan lemah unsur pendidikannya ketika upaya menahan
dan mengendalikan nafsu itu hancur oleh pelampiasan nafsu yang dihempaskan saat
berbuka.
Ilustrasi : Shadaqah. (Foto : gadingpermai.com)
Ketujuh. ketika
bulan Ramadhan tidak dioptimalkan untuk banyak mengeluarkan infaq dan shadaqah.
Rasulullah SAW, seperti digambarkan dalam hadits, menjadi sosok yang paling
murah dan dermawan di bulan Ramadhan, sehingga kedermawanannya mengalahkan angin
yang bertiup. Di bulan inilah, satu amal kebajikan bisa bernilai puluhan bahkan
ratusan kali lipat dibandingkan bulan-bulan lainnya. Momentum seperti ini
sanagt berharga dan tidak boleh disia-siakan. Keyakinan itu yang dikembangkan
oleh para sahabat.
Ilustasi : sibuk belanja lebaran (Foto : aktual.com)
Kedelapan. ketika
hari-hari menjelang Idul Fitri sibuk dengan persiapan lahir, tetapi tidak sibuk
dengan memasok perbekalan sebanyak-banyaknya pada 10 malam terakhir untuk
memperbanyak ibadah. Lebih banyak berfikir untuk bisa merayakan Idul Fitri
dengan berbagai kesenangan, tapi melupakan suasana akan berpisah dengan bulan
yang mulia tersebut.
Rasulullah
dan para sahabat mengkhususkan 10 hari terakhir untuk berdiam di dalam masjid,
meninggalkan semua kesibukan duniawi. Mereka memperbanyak ibadah, dzikir dan
berupaya meraih keutamaan malam seribu bulan, saat diturunkannya al-Qur’an.
Pada detik-detik terakhir menjelang usainya
Ramadhan, mereka merasakan kesedihan mendalam karena harus berpisah dengan
bulan mulia itu, sebagaimana mereka bahkan menangis karena akan berpisah dengan
bulan mulia. Ada juga yang bergumam jika mereka dapat merasakan Ramadhan
sepanjang tahun.
Ilustrasi : bebas dari belenggu (Foto : muazin.com)
Kesembilan, ketika
Idul Fitri dan selanjutnya dirayakan laksana hari “merdeka” dari penjara untuk
kembali melakukan berbagai penyimpangan. Fenomena ini sebenarnya hanya akibat
pelaksanaan puasa yang tak sesuai dengan adabnya. Orang yang berpuasa dengan
baik tentu tidak akan menyikapi Ramadhan sebagai kerangkeng.
ILustrasi : Malas. (Foto : rsbsmpn1sangatta.wordpress.com)
Kesepuluh, Setelah
Ramadhan, nyaris tidak ada ibadah yang ditindaklanjuti pada bulan-bulan
selanjutnya. Misalnya memelihara kesinambungan puasa sunnah, shalat malam,
membaca al-Qur’an.
Amal-amal
ibadah satu bulan Ramadhan, adalah bekal pasukan agar rohani dan keimanan seseorang meningkat untuk
menghadapi sebelas bulan setelahnya. Namun, orang akan gagal meraih keutamaan
Ramadhan, saat ia tidak berupaya menghidupkan dan melestarikan amal-amal ibadah
yang pernah ia jalankan dalam satu bulan itu.□
Wallahu a’lam bishawab
Sumber : Majalah Tarbawi, Edisi : 15
Th/2 31 Desember 2000.
0 Response to "10 Indikasi "Gagal" Meraih Keutamaan Ramadhan"
Post a Comment