Foto : Rohis-facebooks.blogspot.com
Tangis Perpisahan para Pecinta Ramadhan
Written by Fredi Wahyu Wasana
Friday, 10 September 2010 08:27
“Di malam
terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan
para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya.”
Waktu
terus bergulir dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari
hari ke hari, dari minggu ke minggu…. Rasanya baru kemarin kita begitu
bersemangat mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan, bulan tarbiyah,
bulan latihan, bulan Quran, bulan maghfirah, bulan yang penuh berkah. Namun
beberapa saat lagi, Ramadhan akan meninggalkan kita, padahal kita belum optimal
melaksanakan qiyamul lail kita, belum optimal membaca Al-Quran serta belum
optimal melaksanakan ibadah-ibadah lain, target-target yang kita pasang belum
semuanya terlaksana. Dan kita tidak akan pernah tahu apakah kita masih dapat
berjumpa dengan Ramadhan berikutnya.
Bagi para
salafush shalih, setiap bulan Ramadhan pergi meninggalkan mereka, mereka selalu
meneteskan air mata. Di lisan mereka terucap sebuah doa yang merupakan ungkapan
kerinduan akan datangnya kembali bulan Ramadhan menghampiri diri mereka.
Orang-orang
zaman dahulu, dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi sedih. Maka,
tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa
Rasulullah SAW, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf.
Dan di sela-sela i’tikafnya, mereka terkadang menangis terisak-isak, karena
Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka.
Ada satu
riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini tidak saja dialami manusia, tapi
juga para malaikat dan makhluk-makhluk Allah lainnya.
Dari Jabir
RA, Rasulullah SAW bersabda, “Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh
petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya
Ramadhan, dan juga keistimewaannya. Ini merupakan musibah bagi umatku.”
Kemudian
ada seorang sahabat bertanya, “Apakah musibah itu, ya Rasulullah?”
“Dalam bulan itu segala doa mustajab, sedekah
makbul, segala kebajikan digandakan pahalanya, dan siksaan kubur terkecuali,
maka apakah musibah yang terlebih besar apabila semuanya itu sudah berlalu?”
Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih.
Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih.
Betapa
tidak. Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah itu akan segera pergi
meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang berpuasa dan menghidupkan
malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan pintu-pintu surga, Dia
tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan. Bulan yang awalnya adalah
rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Bulan
ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada
minyak kesturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu
orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya sebagai
penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.
Mereka
menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka
sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka
belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu
lagi bulan Ramadhan yang akan datang.
Suatu
hari, pada sebuah shalat ‘Idul Fithri, Umar bin Abdul Aziz berkata dalam
khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena
Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan shalat selama tiga puluh hari
pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya memohon kepada Allah agar menerima
amalan tersebut.”
Salah
seorang di antara jama’ah terlihat sedih.
Seseorang
kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria dan
bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram durja? Ada apa gerangan?”
“Ucapanmu
benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut. “Akan tetapi, aku hanyalah hamba
yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya.
Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.”
Kekhawatiran
serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah SAW. Di antaranya Sayyidina
Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali
bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya
agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang
ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”
Ucapan
Sayyidina Ali RA ini mirip dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud RA, “Siapakah
gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita beri ucapan selamat,
dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya untuk kita
‘layati’. Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai
orang yang ditolak amalannya, keperkasaan Allah adalah musibah bagimu.”
Imam
Mu’alla bin Al-Fadhl RA berkata, “Dahulu para ulama senantiasa berdoa kepada
Allah selama enam bulan agar dipertemukan dengan Ramadhan. Kemudian mereka juga
berdoa selama enam bulan agar diterima amal ibadah mereka (selama Ramadhan).”
Wajar
saja, sebab, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tahun depan kita akan kembali
berjumpa dengan bulan yang penuh berkah, rahmat, dan maghfirah ini. Karenanya,
beruntung dan berbahagialah kita saat berpisah dengan Ramadhan membawa segudang
pahala untuk bekal di akhirat.
Jika kita
merenungi kondisi salafush shalih dan meneliti bagaimana mereka menghabiskan
waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan, bagaimana mereka memakmurkannya dengan
amal shalih, niscaya kita mengetahui jauhnya jarak di antara kita dan mereka.
Bagaimana
dengan kita? Adakah kesedihan itu hadir di hati kita di kala Ramadhan
meninggalkan kita? Atau malah sebaliknya, karena begitu bergembiranya menyambut
kedatangan Hari Raya ‘Idul Fithri, sampai-sampai di sepuluh hari terakhir, yang
seharunya kita semakin giat melaksanakan amalan-amalan ibadah, kita malah
disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat
kue, dan lain-lain.
Padahal di
sisi lain, masih banyak orang di sekitar kita yang berjuang untuk mendapatkan
sesuap nasi untuk berbuka hari ini, bukan untuk besok, apalagi untuk pesta pora
di hari Lebaran.
Tapi
apakah salah bila kita menyongsong Hari Raya ‘Idul Fithri dengan kegembiraan?
Tentu saja tidak. Bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan, “Wahai Abu Bakar,
sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini adalah
hari raya kita.” (HR Nasa’i).
Lebarannya
Rasulullah SAW
Idul
Fithri adalah anugerah Allah kepada umat Nabi Muhammad, tak salah bila disambut
dengan suka cita. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Annas RA. “Rasulullah SAW datang, dan penduduk Madinah memiliki dua hari,
mereka gunakan dua hari itu untuk bermain di masa Jahiliyah. Lalu beliau
berkata, ‘Aku telah mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari yang kalian
gunakan untuk bermain di masa Jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk
kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yaitu hari Nahr (‘Idul Adha) dan hari
Fithr (‘Idul Fithri)’.”
Hanya saja
dalam kegembiraan ini jangan sampai berlebih-lebihan, baik itu dalam
berpakaian, berdandan, makan, tertawa. Dan di malam Hari Raya ‘Idul Fithri pun,
kita hendaknya tidak terlarut dalam kegembiraan sehingga kita lupa untuk
menghidupkan malam kita dengan qiyamul lail. Bukankan kita sudah dilatih untuk
menghidupkan malam-malam kita dengan Tarawih selama bulan Ramadhan? Dan
Rasulullah SAW pun bersabda, dari Abu Umamah RA, “Barang siapa melaksanakan
qiyamul lail pada dua malam ‘Id (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha) dengan ikhlas
karena Allah SWT, hatinya tidak akan pernah mati di hari matinya hati-hati
manusia’.” (HR Ibnu Majah).
Marilah kita lihat bagaimana Rasulullah SAW
menyambut Lebaran dengan keriangan yang bersahaja.
Pagi itu, tepatnya 1 Syawwal, Rasulullah SAW keluar dari tempat i’tikafnya, Masjid Nabawi. Beliau bergegas mempersiapkan diri untuk berkumpul bersama umatnya, melaksanakan salat ‘Id. Nabi juga menyuruh semua kaum muslimin, dewasa, anak-anak, laki-laki, dan perempuan, baik perempuan yang suci maupun yang haid, keluar bersama menuju tempat shalat, supaya mendapat keberkahan pada hari suci tersebut.
Pagi itu, tepatnya 1 Syawwal, Rasulullah SAW keluar dari tempat i’tikafnya, Masjid Nabawi. Beliau bergegas mempersiapkan diri untuk berkumpul bersama umatnya, melaksanakan salat ‘Id. Nabi juga menyuruh semua kaum muslimin, dewasa, anak-anak, laki-laki, dan perempuan, baik perempuan yang suci maupun yang haid, keluar bersama menuju tempat shalat, supaya mendapat keberkahan pada hari suci tersebut.
Menurut
hadits Ummu ‘Athiyyah, “Kami diperintahkan untuk mengeluarkan semua gadis dan
wanita, termasuk yang haid, pada kedua hari raya, agar mereka dapat menyaksikan
kebaikan hari itu, juga mendapat doa dari kaum muslimin. Hanya saja
wanita-wanita yang haid diharapkan menjauhi tempat shalat.” (HR
Bukhari-Muslim).
Dikatakan
oleh Ibnu Abbas, “Rasulullah SAW keluar dengan seluruh istri dan anak-anak
perempuannya pada waktu dua hari raya.” (HR Baihaqi dan Ibnu Majah).
Ibnu Abbas
dalam hadits yang diriwayatkannya menuturkan, “Saya ikut pergi bersama
Rasulullah SAW (waktu itu Ibnu Abbas masih kecil), menghadiri Hari Raya ‘Idul
Fithri dan ‘Idul Adha, kemudian beliau shalat dan berkhutbah. Dan setelah itu
mengunjungi tempat kaum wanita, lalu mengajar dan menasihati mereka serta
menyuruh mereka agar mengeluarkan sedekah.”
Sebelum
melaksanakan salat ‘Id, terlebih dahulu Rasulullah membersihkan diri. Lalu
beliau berdoa, “Ya Allah, sucikanlah hati kami sebagaimana Engkau sucikan badan
kami, sucikanlah bathin kami sebagaimana Engkau telah menyucikan lahir kami,
sucikanlah apa yang tersembunyi dari orang lain sebagaimana Engkau telah
menyucikan apa yang tampak dari kami.”
Ada juga
riwayat yang mengatakan, Rasulullah, setelah mandi, memakai parfum. Anas bin
Malik berkata, “Rasulullah SAW memerintahkan kita di dua hari raya mengenakan
pakaian terbagus yang kita miliki, menggunakan parfum terbaik yang kita miliki,
dan berqurban (bersedekah) dengan apa saja yang paling bernilai yang kita
miliki.” (HR Al-Hakim, dan sanadnya baik).
Imam
Syafi’i dengan sanad yang juga baik meriwayatkan, Rasulullah SAW mengenakan
kain burdah (jubah) yang bagus pada setiap hari raya. Pakain terbagus dalam hal
ini bukan berarti baru dibeli, tetapi terbagus dari yang dimiliki. Lebih khusus
lagi Imam Syafi’i dan Baghawi meriwayatkan, Nabi SAW memakai pakaian buatan
Yaman yang indah pada setiap hari raya (Pakaian buatan Yaman merupakan standar
keindahan busana saat itu).
Pada hari
istimewa itu, beliau mengenakan hullah, pakaiannya yang terbaik yang biasa
beliau kenakan setiap hari raya dan hari Jum’at. Ini merupakan tanda syukur
kepada Allah, yang telah memberikan nikmat-Nya.
Kemudian,
beliau mengambil beberapa butir kurma untuk dimakan. Kurma yang dimakan
biasanya jumlahnya ganjil, seperti satu, tiga, dan berikutnya. Ini pertanda,
hari itu umat Islam menghentikan puasanya.
Sepanjang
perjalanan dari rumah menuju tempat salat ‘Id, Rasulullah tak henti-hentinya
mengumandangkan takbir dengan khidmat. “Allahu Akbar, Allahu Akbar,
walillahilhamdu.”
Rasulullah
SAW selalu melaksanakan shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha di tanah lapang,
seperti disebutkan di dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim. Beliau baru
melaksanakan salat ‘Id di masjid kalau hari hujan. Menurut ahli fiqih, tempat
salat ‘Id yang sering digunakan Rasulullah dan para sahabat itu terletak di
sebuah lapangan di pintu timur kota Madinah.
Rasulullah
melaksanakan salat ‘Idul Fithri agak siang. Ini untuk memberi kesempatan kepada
para sahabat membayar zakat fithrah mereka. Sementara salat ‘Idul Adha
dilakukan lebih awal, agar kaum muslimin bisa menyembelih hewan qurban mereka.
Jundab RA
berkata, “Rasulullah SAW shalat ‘Idul Fitri dengan kami ketika matahari
setinggi dua tombak, dan shalat ‘Idul Adha dengan kami ketika matahari setinggi
satu tombak.”
Rasulullah
melaksanakan salat ‘Idul Fithri dua rakaat tanpa adzan dan iqamat. Pada rakaat
pertama, beliau bertakbir tujuh kali dengan takbiratul ihram dan kaum muslimin
di belakangnya bertakbir seperti takbirnya. Kemudian membaca surah Al-Fatihah
dan surah lainnya dengan keras.
Pada
rakaat kedua, beliau takbir qiyam (berdiri dari sujud) kemudian bertakbir lima
kali, kemudian membaca Al-Fatihah, disambung dengan surah lainnya.
Namun ada
juga sahabat yang tertinggal shalatnya. Maka misalnya dia hanya mendapat
tasyahhud, setelah imam salam dia shalat dua rakaat. Jadi dia shalat dua
rakaat, sebagaimana dia ketinggalan dua rakaat dari imam.
Lalu
bagaimana dengan orang yang ketinggal shalat hari raya? Menurut Ibnu Mas’ud,
“Barang siapa tertinggal shalat hari raya, hendaklah dia shalat empat rakaat
sendiri.”
Abu Said
Al-Khudri RA berkata, “Rasulullah SAW selalu keluar pada Hari Raya Haji dan
Hari Raya Puasa. Beliau memulai dengan shalat. Setelah selesai shalat dan
memberi salam, Baginda berdiri menghadap kaum muslimin yang masih duduk di
tempat shalatnya masing-masing. Jika mempunyai keperluan yang mesti
disampaikan, akan beliau tuturkan hal itu kepada kaum muslimin. Atau ada
keperluan lain, maka beliau memerintahkannya kepada kaum muslimin. Beliau
pernah bersabda (dalam salah satu khutbahnya di hari raya), ‘Bersedekahlah
kalian! Bersedekahlah! Bersedekahlah!’ Dan ternyata kebanyakan yang memberikan
sedekah adalah kaum wanita.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ketika
berangkat untuk melakukan salat ‘Id, Rasulullah selalu melewati jalan yang
berbeda ketika pulangnya. Ini memudahkan para sahabat yang hendak menemui
beliau untuk mengucapkan selamat hari raya, sekaligus menunjukkan kepada kaum
kafir bahwa inilah umat Islam, yang keluar menuju Allah, dan kembali
kepada-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, dan berjalan di muka bumi ini agar
memperoleh keridhaan-Nya.
Saling
Bermaafan
Saat
bertemu satu sama lain, kaum muslimin saling bermaafan, seraya saling
mendoakan. Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan RA
mengatakan, “Aku menemui Watsilah bin Al-Asqa’ pada hari ‘Id, lalu aku
mengatakan, ‘Taqabbalallah minna wa minka (Semoga Allah menerima amal ibadahku
dan amal ibadahmu).’
Lalu ia
menjawab, ‘Taqabbalallah minna wa minka’.
Kemudian
Watsilah berkata, ‘Aku menemui Rasulullah SAW pada hari ‘Id, lalu aku
mengucapkan: Taqabbalallah minna wa minka.
Lalu
Rasulullah SAW menjawab, ‘Ya, taqabbalallah minna wa minka’.” (HR Baihaqi).
Selanjutnya,
di masa sahabat, ucapan ini agak berubah sedikit. Jika sebagian sahabat bertemu
dengan sebagian yang lain, mereka berkata, “Taqabballahu minna wa minkum
(Semoga Allah menerima amal ibadahku dan amal ibadah kalian).” (HR Ahmad dengan
sanad yang baik).
Pada hari
raya, Rasulullah mempersilakan para sahabat untuk bergembira. Seperti
mengadakan pertunjukan tari dan musik, makan dan minum, serta hiburan lainnya.
Namun semua kegembiraan itu tidak dilakukan secara berlebihan atau melanggar
batas keharaman. Karena, hari itu adalah hari-hari makan, minum, dan dzikir
kepada Allah Azza wa Jalla (HR Muslim).
Aisyah RA
menceritakan, “Di Hari Raya ‘Idul Fithri, Rasulullah masuk ke rumahku. Ketika
itu, di sampingku ada dua orang tetangga yang sedang bernyanyi dengan nyanyian
bu’ats (bagian dari nyayian pada hari-hari besar bangsa Arab ketika terjadi
perselisihan antara Kabilah Aush dan Khazraj sebelum masuk Islam). Kemudian
Rasulullah berbaring sambil memalingkan mukanya.
Tidak lama
setelah itu Abu Bakar masuk, lalu berkata, ‘Kenapa membiarkan nyanyian setan
berada di samping Rasulullah?’
Mendengar
hal itu, Rasulullah menengok kepada Abu Bakar seraya berkata, ‘Wahai Abu Bakar,
sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya, dan hari ini adalah hari raya
kita’.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ada juga
riwayat dari Imam Bukhari yang menceritakan, “Rasulullah SAW masuk ke tempatku
(Aisyah), kebetulan di sana ada dua orang sahaya sedang menyanyikan syair-syair
Perang Bu’ats (Bu’ats adalah nama benteng kepunyaan suku Aus; sedang hari
Bu’ats ialah suatu hari yang terkenal di kalangan Arab, waktu terjadi
pertempuran besar di antara suku Aus dan Khazraj). Beliau terus masuk dan
berbaring di ranjang sambil memalingkan kepalanya.
Tiba-tiba
masuk pula Abu Bakar dan membentakku seraya berkata, ‘(Mengapa mereka)
mengadakan seruling setan di hadapan Nabi?’
Maka Nabi
pun berpaling kepadanya, beliau berkata, ‘Biarkanlah mereka.’
Kemudian
setelah beliau terlena, aku pun memberi isyarat kepada mereka supaya keluar,
dan mereka pun pergi.
Dan waktu
hari raya itu banyak orang Sudan mengadakan permainan senjata dan perisai.
Adakalanya aku meminta kepada Nabi SAW untuk melihat, dan adakalanya pula
beliau sendiri yang menawarkan, ‘Inginkah kau melihatnya?’
Aku jawab,
‘Ya.’
Maka
disuruhnya aku berdiri di belakangnya, hingga kedua pipi kami bersentuhan, lalu
sabdanya, ‘Teruskan, hai Bani ‘Arfadah!’
Demikianlah
sampai aku merasa bosan.
Maka
beliau bertanya, ‘Cukupkah?’
Aku jawab,
‘Cukup.’
‘Kalau
begitu, pergilah!’ kata beliau.”
Hakikat
Kemenangan
Demikianlah, Ramadhan telah melewati kita.
Tapi kebaikan-kebaikan lain tetap mesti dipertahakan.
Puasa Ramadhan memang telah berakhir, tapi puasa-puasa sunnah, misalnya, tidaklah berakhir, tetap menanti kita. Seperti puasa enam hari di bulan Syawwal, puasa Senin-Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan (ayyaamul bidh, tanggal 13, 14, dan 15 tiap bulan), puasa Asyura’ (tanggal 10 Muharram), puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), dan lain-lain.
Tarawih
memang telah berlalu, tapi Tahajjud, misalnya, tetap menanti kita. Juga bermunajat
di tengah malam, yang merupakan kebiasaan orang-orang shalih. Abu Sulaiman
Ad-Daaraani rahimahullah berkata, “Seandainya tidak ada malam, niscaya aku
tidak ingin hidup di dunia.”
Zakat
fithrah memang telah berlalu, tapi zakat wajib dan pintu sedekah masih terbuka
lebar pada waktu-waktu yang lain.
Karenanya,
memasuki ‘Idul Fithri, yang berarti jiwa kita menjadi fithri (suci), “tampilan”
kita harus lebih Islami. Baik tujuan, orientasi, motivasi, fikrah (pemikiran),
akhlaq, moral, perilaku, interaksi, kebijakan, aktivitas, kiprah, peran, maupun
yang lainnya. Individu, rumah tangga, ataupun sosial. Rakyat, ataupun pejabat.
Ini merupakan indikator diterimanya puasa Ramadhan kita. Karena jika Allah SWT
menerima amal seseorang, Dia akan menolongnya untuk mengadakan perubahan diri
ke arah yang lebih positif dan meningkatkan amal kebajikan.
Seorang
penyair Arab mengingatkan dalam sya’irya:
Bukanlah Hari Raya ‘Id itu
bagi orang yang berbaju baru
Melainkan hakikat ‘Id itu
bagi orang yang bertambah ta’atnya
bagi orang yang berbaju baru
Melainkan hakikat ‘Id itu
bagi orang yang bertambah ta’atnya
Semoga dengan latihan yang telah kita lakukan
selama bulan Ramadhan ini, kita disampaikan Allah kepada ketaqwaan. Semoga
ketaqwaan ini dapat kita terus pertahankan dan kita jadikan sebagai pakaian
kita sehari-hari. Dan semoga kita masih dapat dipertemukan Allah dengan
Ramadhan berikutnya.
Taqabbalallahu minna waminkum, wakullu ‘aamin wa antum bikhairin.
Taqabbalallahu minna waminkum, wakullu ‘aamin wa antum bikhairin.
Sumber :
·
https://pondokhabib.wordpress.com/2011/07/27/tangis-perpisahan-para-pecinta-ramadhan/
0 Response to "Tangis Perpisahan para Pecinta Ramadhan...."
Post a Comment