Pergi
Haji atau Bayar Hutang Dulu?
Ilustrasi : niat berhaji. (foto :bacadata.com)
Pertanyaan:
Apakah boleh saya berhaji sebelum
melunasi hutang-hutangku yang cukup banyak? Perlu diketahui bahwa pemilik
hutang tidak melarangku untuk berhaji, bagaimana yang terbaik?
Jawaban:
Perlu diketahui terlebih dahulu,
persoalan hutang sangat penting. Seseorang tidak boleh berhutang kecuali sangat
membutuhkan. Karena terkadang hutang bisa menjadi penghalang seorang mukmin
dari surga, sampaipun yang mati syahid. Hal ini disebutkan dalam hadits, ada
seseorang datang kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, lalu
berkata, “Bagaimana menurut Anda, jika aku terbunuh di jalan Allah dalam
kondisi sabar, berharap pahala dan maju terus tidak kabur, apakah Allah akan
menghapuskan kesalahan-kesalahanku?” Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab,
“Ya.” Namun ketika orang tersebut berbalik, Rasulullah shallallaahu
'alaihi wasallam memanggilnya atau memerintahkan untuk dipanggilkan
dia. Lalu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bertanya,
“Apa yang kamu katakan tadi?” Lalu orang tersebut mengulangi pertanyaannya, dan
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab, “Ya, kacuali
hutang, begitulah yang dikatakan Jibril.” (HR. Muslim)
Imam al-Nawawi rahimahullaah berkata,
“Adapun sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, kecuali
hutang, mengandung peringatan terhadap hak-hak sesama manusia. Sedangkan
jihad dan kesyahidan serta yang lainnya termasuk amal-amal kebajikan yang tidak
bisa menggugurkan hak-hak sesama. Dan hanya bisa menggugurkan hak-hak Allah Ta’ala.
(Syarah Shahih Muslim, Imam al-Nawawi: 5/28)
Maksud dari hutang di sini, apa
saja yang terkait dengan tanggungannya dari hak-hak kaum muslimin. Karena orang
yang berhutang tidaklah lebih pantas mendapatkan ancaman dan tuntutan daripada
perampok, pencopet, penghianat, dan pencuri.” (Tuhfah al-Ahwadzi: 5/203)
Dan disebutkan dalam hadits lain
dari Muhammad bin Jahsy, dia berkata, “Kami pernah duduk di tempat jenazah
bersama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, lalu beliau
mengangkat pandangannya ke langit lalu meletakkan telapak tangannya di dahinya
sambil bersabda, “Maha Suci Allah, betapa keras apa yang diturunkan Allah dalam
urusan utang-piutang?” Kami diam dan meninggalkan beliau. Keesokan harinya kami
bertanya, “Ya Rasulullah, perkara keras apa yang telah turun?” Beliau menjawab,
“Dalam urusan utang-piutang. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya,
seandainya seorang laki-laki dibunuh di jalan Allah kemudian ia dihidupkan lalu
dibunuh kemudian dihidupkan lalu dibunuh (lagi) sedang ia memiliki hutang,
sungguh ia tak akan masuk Surga sampai dibayarkan untuknya utang tersebut.”(
HR. Al-Nasa’i dan al-Hakim, beliau menshahihkannya. Imam al-Dzahabi
menyepakatinya. Sementara syaikh al-Albani menghassankannya dalam Ahkam
al-Janaiz, hal. 107)
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu
'anhu, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Siapa yang mengambil
(berhutang) harta manusia dan ingin membayarnya maka Allah akan melunaskannya.
Sementara siapa yang berhutang dengan keinginan menelantarkannya (tidak
membayar), maka Allah akan benar-benar membinasakannya.” (HR. Al-Bukhari)
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu
'anhu, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin tergantung
kepada hutangnya sehingga dibayarkan.” (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi, beliau
mengatakan hadits hasan. Syaikh al-Albani juga menghassankannya dalam Shahih
Sunan Ibnu Majah 2/53)
Ilustrasi : terbelit hutang. (foto : islamkafah.com)
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلَّا أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِي الدُّنْيَا
“Tidaklah seorang muslim
berhutang dengan satu piutang yang Allah mengetahui bahwa dia ingin membayarnya
kecuali Allah akan membayarkannya di dunia.” (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim,
beliau menshahihkannya. Imam Dzahabi menyepakatinya sedangkan Syaikh al-Albani
menshahihkannya dalam shahih Sunan Ibnu Majah: 2/51)
Dari Ibnu Umar radhiyallaahu
'anhu, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Utang
itu ada dua macam, barangsiapa yang mati meninggalkan utang, sedangkan ia
berniat akan membayarnya, maka saya yang akan mengurusnya, dan barangsiapa yang
mati, sedangkan ia tidak berniat akan membayarnya, maka pembayarannya akan
diambil dari kebaikannya, karena di waktu itu tidak ada emas dan perak.”
(HR. Thabrani dalam al-Kabir dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Ahkam
al-Janaiz hl. 5). Beberapa hadits tersebu mengandung ancaman keras
menggampangkan urusan hutang.
Sedangkan pada dasarnya berhaji itu
wajib atas orang yang mampu berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah” (QS. Ali Imran: 97) makna istitha’ah adalah
kemampuan untuk ke sana. Maka siapa yang mendapati jalan melaksanakan haji dan
tidak ada yang menghalangi –seperti karena jauhnya jarak, kondisi lemah,
ancaman musuh, sediktinya air atau perbekalan di perjalanan, lemah melakukan perjalanan-,
maka dia wajib melaksanakan haji. Sedangkan siapa yang merasa tidak mampu
dengan sebab-sebab di atas atau sebab lainnya seperti tidak memili nafkah yang
cukup untuk keluarga yang ditinggalkan atau tidak ada mahram bagi wanita, maka
terkategori sebagai orang tidak mampu.
Dari ulasan di atas, pada dasarnya
seorang muslim seharusnya menyelesaikan hutangnya sebelum berangkat haji.
Terdapat beberapa kriteria dampak
hutang terhadap kewajibkan haji, sebagai berikut:
Pertama, hutangnya yang
harus segera dibayarkan, sedangkan pada saat itu dia tidak memiliki harta yang
cukup untuk membayar hutang dan berangkat haji. Maka dia harus mendahulukan
hutangnya daripada haji. Karena sangkutan dengan hamba lebih dikedepankan
daripada sangkutan Allah Ta’ala.
Kedua, hutang dengan
cara angsuran beberapa tahun, maka tidak menghalangi pergi haji. Misalnya,
orang membeli rumah secara kredit dengan jangka waktu sepuluh tahun, dia
membayar setiap bulannya sekian. Maka hutang semacam ini tidak mempengaruhi
kewajiban melaksanakan haji.
Ketiga, jika ada
seseorang yang membiayai hajinya dan menanggung nafkah keluarganya, maka tidak
mengapa melaksanakan haji walaupun punya banyak hutang.
Keempat, Jika orang yang
berhutang minta izin kepada orang yang menghutanginya lalu dia mengizinkannya
pergi haji, maka tidak mengapa dia melaksanakan ibadah haji. Dan makna izinnya
adalah menerima permintaan penangguhan hutang walaupun tanggungan hutang masih
membebaninya. Dan jika meninggal dalam kondisi ini maka dia dalam bahaya yang besar
sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa hadits di depan.
Kesimpulannya, jika hutang menuntut
segera di bayarkan maka dia terkategori sebagai orang yang tidak mampu
melaksanakan haji dan dia wajib segera melunasi hutangnya. Adapun jika
hutangnya ditangguhkan, maka boleh baginya untuk berhaji walaupun melepaskan
diri dari segala tanggungan itu jauh lebih baik dan utama.
(PurWD/voa-islam/yasaloonak.net)
Sumber :
0 Response to "Pergi Haji atau bayar Hutang dahulu ?"
Post a Comment